Selasa, 26 Juni 2012

TRAGEDI 1998


Sebagai dampak dari krisis financial Asia, sejak tahun 1997 perekonomian Indonesia mengalami kejatuhan. Hal ini membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia agar dapat keluar dari krisis.
Pada bulan Maret 1998 MPR menetapkan Soeharto sebagai Presiden RI meskipun mendapat penolakan dari mahasiswa dan sebagian masyarakat. Sebagai wujud penolakan terhadap terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden RI, berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan dan mencapai puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Sepanjang malam tanggal 12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa ini juga mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Pada tanggal 19 Mei 1998 mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.
20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Sementara kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR, pada tanggal ini pula, sejumlah 14 menteri mengundurkan diri dan menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama 32 tahun. Kemudian untuk mencegah terjadinya kekosongan pemerintahan, sebagai wakil presiden, Baharuddin Jusuf Habibie dilantik untuk menggantikan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.
Namun diangkatnya B.J Habibie menjadi presiden RI ternyata menimbulkan ketidakpuasan mahasiswa karena menganggap Habibie adalah bagian dari orde baru yang tak jauh berbeda dengan Soeharto. Akibatnya  masih terus berlangsung sebagai wujud penolakan terhadap Habibie.
Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar.
Ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.
Mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar