Sebagai dampak dari krisis
financial Asia, sejak tahun 1997 perekonomian Indonesia mengalami kejatuhan.
Hal ini membuat pemilihan pemerintahan Indonesia saat itu sangat menentukan
bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia agar dapat keluar dari krisis.
Pada bulan Maret 1998
MPR menetapkan Soeharto sebagai Presiden RI meskipun mendapat penolakan dari
mahasiswa dan sebagian masyarakat. Sebagai wujud penolakan terhadap terpilihnya
kembali Soeharto sebagai presiden RI, berbagai aksi-aksi yang digelar
mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan dan mencapai
puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas
Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu
berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa mahasiswa putri sempat
memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang bertugas
mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian memanas
sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju
DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka
diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan
ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa
tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri
Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Sepanjang malam tanggal
12 Mei 1998 hingga pagi hari, masyarakat mengamuk dan melakukan perusakan di
daerah Grogol dan terus menyebar hingga ke seluruh kota Jakarta. Mereka kecewa
dengan tindakan aparat yang menembak mati mahasiswa.
Aksi penembakan terhadap empat
mahasiswa ini juga mengundang
berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Pada tanggal 19 Mei 1998 mahasiswa melakukan aksi
demonstrasi besar-besaran. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang
berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya
melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut
turunnya Presiden Soeharto.
20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR
telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari
perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai
50.000 orang. Sementara
kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR, pada tanggal ini
pula, sejumlah 14 menteri mengundurkan
diri dan menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam
Kabinet Reformasi.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai
puncaknya pada 21 Mei 1998. Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi
Presiden Republik Indonesia. Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah
diemban selama 32 tahun. Kemudian
untuk mencegah terjadinya kekosongan pemerintahan, sebagai wakil presiden, Baharuddin
Jusuf Habibie dilantik untuk
menggantikan Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru.
Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan
Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.
Namun diangkatnya B.J Habibie menjadi presiden RI ternyata
menimbulkan ketidakpuasan mahasiswa karena menganggap Habibie adalah bagian
dari orde baru yang tak jauh berbeda dengan Soeharto. Akibatnya masih terus berlangsung sebagai wujud
penolakan terhadap Habibie.
Pada bulan November
1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk
menentukan Pemilu
berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan.
Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan B. J. Habibie
dan tidak percaya dengan para anggota DPR/MPR
Orde Baru. Mereka juga mendesak untuk menyingkirkan militer dari politik serta
pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.
Masyarakat dan
mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi
ABRI/TNI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat
bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di
Jakarta dan kota-kota besar.
Ratusan ribu mahasiswa
dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah,
Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena
dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa
(pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa).
Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan
mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman
Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian
ia meninggal dunia.
Mahasiswa dan
masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru
dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang
meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar