Oleh:
Amelia Putri Kartikasari
Ilmu Administrasi Negara, UNY-2011
BAB I
PENDAHULUAN
Amerika
Serikat (AS) ternyata gagal dalam tahap pemulihan perekonomian
domestiknya sejak krisis ekonomi pada tahun 2008. Saat ini, AS mengalami
keterpurukan ekonomi yang cukup parah dan berpotensi akan menjadi pemicu krisis
ekonomi global. Krisis diawali dengan defisit anggaran pemerintah yang kian
mengkhawatirkan akibat hutang pemerintah, masyarakat dan perusahaan swasta yang
terus membesar.
Hutang
pemerintah AS yang begitu besar membawa negara ‘paman sam’ tersebut
berada pada situasi krisis ekonomi sistemik dan berpotensi kuat akan menjalar
hampir ke sebagian besar negara-negara Eropah. Puncaknya, kepercayaan pasar
diperkirakan terus semakin melorot sampai ke titik nadir. Besar kemungkinan
potensi resiko dari krisis ekonomi AS akan membawa efek negatif terhadap
perekonomian negara-negara mitra dagang AS. Sebab, berdasarkan catatan
historisnya krisis ekonomi AS selalu menjadi pemicu tingginya gelombang krisis
keuangan global. Agar Indonesia tidak ikut terseret dalam krisis ini, atau
paling tidak meminimalisasi dampak yang dirasakan, perlu diciptakan ketahanan
ekonomi nasional yang kuat.
Pada dasarnya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang
menopang kehidupan masyarakatnya, mulai dari kekayaan bahari hingga kekayaan
hutan yang tak terbendung banyaknya. Persoalaan yang muncul hanyalah pada
sumber daya pengelolaan kekayaan tersebut hingga menjadi sesuatu yang
bermanfaat. Sehingga salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah mengembangkan
diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi.
Tiga komoditi yang saat ini
dipercaya mampu mengatasi kedua krisis(pangan dan energy) yang terus menghantui
dunia dari waktu ke waktu jagung, singkong dan sagu. Khusus untuk sagu,
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menguasai pasar dunia
mengingat Indonesia menguasai 51,3% dari total area hutan sagu di dunia.
Tanaman sagu
sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan makanan pokok alternatif bagi
masyarakat Indonesia. Sebab, sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton
per haktare (ha), jauh melebihi beras atau jagung. Di sisi lain peningkatan
konsumsi sagu disbanding beras akan membantu menekan impor beras yang hampir
setiap tahun dilakukan. Selain di bidang pangan tepung sagu juga bermanfaat
dalam industri plastik dan bahan baku pembuatan bioenergi. Sangat tepat kiranya
dengan kondisi Indonesia yang selama ini mengalami ketergantungan terhadap
minyak bumi.
BAB II
PEMBAHASAN
Krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) telah memberi pukulan langsung
kepada petani Indonesia. Harga dua komoditas unggulan, minyak sawit dan karet,
menukik tajam. Petani pun telah kehilangan pasar produk pertanian mereka di AS.
Sedangkan dampak tidak langsung juga bisa terjadi: petani kita berpotensi
kehilangan pasar di negara-negara yang menjadi partner AS, seperti Cina, India,
Jepang, dan Eropa.
Tentu saja krisis ekonomi kali ini mau tak mau mengingatkan kita pada
situasi 1998. Krisis ekonomi kala itu demikian besar dampak kerusakannya. Itu
disebabkan titik episentrum gempa ekonomi terjadi waktu itu ada di dalam negeri
kita sendiri dan di saaat daya tahan ekonomi kita tidak kuat. Jadi berbeda
sekali dengan krisis kali ini. Sumber kerusakan ada di luar negeri dan
Indonesia sudah punya pengalaman sehingga tahu apa yang harus dilakukan.
Meski begitu, negeri kita tidak bisa menahan sama sekali gelombang tsunami
akibat gempa ekonomi di AS. Harus kita terima kenyataan bahwa di tahun-tahun ke
depan laju pertumbuhan ekonomi kita akan mengalami perlambatan. Kita berharap
angkanya tidak sampai negatif.
Dampak krisis ekonomi AS tidak hanya menimpa negara kita saja. Hampir
seluruh di dunia terimbas. Tapi, kenyataan ini tidak bisa menjadi apologi
pemerintah untuk tidak berpikir kreatif dan bertindak cermat-cepat. Untuk bisa
keluar dari krisis, kita sangat bergantung pada efektivitas usaha pemerintah
meredam krisis. Pemerintah juga perlu bekerjasama dengan negera-negara lain,
secara bilateral maupun multilateral, untuk menyelamatkan ekonomi riil rakyat
kita, khususnya petani, bukan hanya menyelamatkan pasar modal, sistem
perbankan, dan kondisi keuangan negara saja.
Saat ini telah terjadi penurunan ekspor produk-produk pangan dan
pertanian kita ke AS. Kita juga khawatir permintaan pasar pangan Cina dan India
seiring menurunnya tingkat ekonomi kedua negara itu akibat ekspor mereka ke AS
juga tersendat-sendat.
Hal tersebut akan berakibat buruk kepada para petani kita, khususnya
para petani yang mengandalkan pasar ekspor. Maka pemerintah perlu
mengantisipasi akibat turunannya, bukan hanya penurunan pertumbuhan sektor
pertanian secara makro, tapi juga dampak riil berupa bertambahnya pengangguran
dan petani miskin.
Untuk mengatasi krisis terebut, solusi yang bisa dilakukan adalah
dengan mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi.
Jagung, singkong dan sagu, adalah salah tiga komoditi yang saat ini dipercaya
mampu mengatasi kedua krisis yang terus menghantui dunia dari waktu ke waktu.
Khusus sagu, pemerintah menyebutnya sebagai tanaman unggulan dan
memiliki potensi sebagai salah satu sumber pangan pokok selain beras, karena
kandungan karbohidratnya (kalori) yang memadai dan memiliki kemampuan subsitusi
pati sagu dalam industri pangan. Dengan demikian pengelolaan sagu Indonesia
memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan dan energi
nasional di masa mendatang.
Tanaman Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung,
kresula, bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia
di Ambon; tumba di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di
Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru. Tanaman sagu masuk
dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasan Indo Pasifik
terdapat 5 marga (genus) Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon,
Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal
adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi.
Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu :
yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga atau berbuah
sekali (Hapaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan
karbohidratnya lebih banyak. Golongan ini terdiri dari 5 varietas penting yaitu
:
- Metroxylon sagus,Rottbol atau sagu molat
- Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.
- Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu ihur
- Metroxylon rumphii,Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru
- Metroxylon rumphii,Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan
Dari kelima
varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni, dan
Molat.
Biasanya,
sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut
dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa
yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air
tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%.
Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau
hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, Dari
total area hutan sagu di dunia saja, Indonesia memiliki ±1.250.000 juta hektar hutan sagu, atau menguasai 51.3%
hutan sagu di dunia. Sebaran lahan pohon sagu terbesar di Indonesia terdapat di
beberapa wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan
Dari luas hutan
sagu tersebut, secara matematis sagu ikut menyumbang pemasukan bagi Indonesia
dikisaran trilyunan rupiah. Berdasarkan hasil kajian dan pemetaan Forum
Kerjasama Agribisnis, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan
pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam jangka
waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga Rp. 2.400 per
kilo gramnya pun sudah mampu menyumbang pendapatan kotor dikisaran 4 trilyun
rupiah.
Pemanfaatan sagu:
Dilihat dari
segi pangan, tanaman sagu mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga dapat
dijadikan makanan pokok selain beras, pati sagu dalam batang dapat dikelola
menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan seperti mie
dan beragam jenis kue. Nilai kalori dan gizi sagupun tidak kalah dengan sumber
pangan lainnya seperti beras, jagung, ubi, dan kentang.
Selain
sebagai komoditi pangan, menurut pakar Sagu dari Institute Pertanian Bogor
(IPB) Bogor, Dr Fredy Rumawas, bahan tepung sagu dapat menghasilkan polimer
terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur
di alam. Sedangkan di pasaran internasional, tepung sagu digunakan sebagai
bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar
fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Jadi, dengan satu juta
lahan sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia mampu menjelma menjadi makmur.
Kemudian,
sagu bisa pula dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi, terutama
bioetanol, yang sangat potensial. Tidak ada satu sumber bioetanol yang lebih potensial
dibandingkan sagu dengan potensi hasil bahan baku mencapai 20-40 ton/ha/tahun.
Pemanfaatan pati sagu menjadi etanol merupakan salah satu usaha dalam rangka
diversifikasi bahan bakar.. Sangat tepat kiranya dengan kondisi Indonesia yang
selama ini mengalami ketergantungan terhadap minyak bumi. Kemudian hal positif
lain dari perkebunan sagu adalah sebagai paru-paru yang mampu meminimalisir
polusi udara dan efek global warming.
Sehingga,
secara umum pembudidayaan dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat lebih bagi
Indonesia, baik pada taraf penigkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, penyediaan
komoditi pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan bisnis. Bahkan,
sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab keberadaan sagu
pada awalnya diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua.
Meski
demikian, angka konsumsi sagu di Indonesia masih rendah. Dari data Kementerian
Pertanian 2009, jumlah konsumsi sagu masyarakat hanya sebesar 0,41 kg/kap per
tahunnya. Bahkan dibanding terigu yang konsumsinya mencapai 12,88 kg/kapita per
tahunnya. Selain itu dari ±1.250.000 ha hutan sagu, yang telah dibudidaya baru
mencapai 148.000 ha.
Hal itu dikarenakan
politik pangan Indonesia sangat bertumpu pada tanaman padi. Padi atau beras
menjadi tolok ukur untuk menentukan tingkat konsumsi karbohidrat. Padahal tidak
semua daerah di Indonesia dapat ditanami padi atau penduduknya terbiasa menanam
padi atau secara tradisi tidak mengandalkan padi sebagai bahan pangannya.
Padahal Indonesia sering kali mengalami masalah yang berulang mengenai produksi
pangan terutama beras. Sedangkan,
kebutuhan masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Data statistik
menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah
beras . Indonesia sendiri merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan
konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China
yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini
mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya
mengandalkan produksi dalam negeri . Hal inilah yang melatarbelakangi
pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimpor beras dari beberapa negara. Padahal jika dikaji ulang kebijakan impor
beras hanya akan melemahkan ketahanan pangan nasional Indonesia. padahal berdasarkan
kajian Forum Kerjasama Agribisnis, Indonesia memiliki potensi alam bagi
pengembangan sagu yang tidak dimiliki oleh benyak negara di dunia. Logika
pemanfaatannya, jika pemerintah menginvestasi dana senilai 1,3 trilyun rupiah
dengan grace period 12 tahun pada luas lahan 68.180 hektar, dengan
pendapatan kotor pada tahun pertama sebesar 4 trilyun rupiah, sebenarnya layak
untuk diwujudkan dan sangat menguntungkan. Apabila upaya ini dilakukan,
sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan pangan dunia. Untuk
pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi pangan berkarbohidrat
juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras yang saat ini diserap
hampir 80% oleh masyarakat Indonesia. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan
Presiden Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009, yang
menyatakan bahwa sagu termasuk salah satu komoditi potensial untuk
dikembangkan. Dengan demikian sagu memiliki harapan dan peluang untuk dijadikan
sebagai salah satu komoditi pangan nasional. Tinggal bagaimana usaha kita dalam
mengelola dan mengembangkan tanaman sagu sehingga mampu menguasai pasar dunia
serta menyokong ketahanan pangan dan ekonomi dalam negeri benar-benar terwujud.
BAB III
PENUTUP
Krisis ekonomi
yang terjadi di Amerika Serikat membawa dampak yang besar bagi krisis global,
salah satunya adalah Indonesia. Dalam menghadapi krisis ini salah satu langkah
yang harus segera diambil adalah menciptakan ketahanan ekonomi nasional yang
kuat.
Salah satu sumber
daya alam yang dimiliki Indonesia yang berpotensi besar dalam memperkuat
ekonomi Indonesia adalah sagu. Dilihat dari areanya, Indonesia memiliki 51,3%
dari total area sagu di dunia. Selain itu sagu juga memiliki sumber karbohidrat
yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras. Jika
hal ini benar-benar dilakukan maka ketergantungan Indonesia akan impor beras
dapat ditekan. Selain di bidang pangan sagu dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan bioenergi. Hal ini dapat membantu Indonesia yang memiliki
ketergantungan dengan bahan bakar energi.
Namun
demikian pada kenyataannya konsumsi dan pemanfaatan sagu dalam negeri masih
sangat rendah . selain itu dari ±1.250.000 ha hutan sagu, yang telah dibudidaya
baru mencapai 148.000 ha.
Oleh karena
itu pemerintah semestinya memberikan perhatian yang lebih lagi bagi pengelolaan
dan pengembangan sagu di Indonesia mengingat betapa besarnya potensi yang dapat
disumbangkan sagu bagi perekonomian Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar