Jumat, 22 Juni 2012

Menekan Dampak Krisis Ekonomi Amerika Serikat terhadap Indonesia Melalui Pengembangan Sagu


Oleh:
Amelia Putri Kartikasari
Ilmu Administrasi Negara, UNY-2011



BAB I
PENDAHULUAN

Amerika Serikat (AS) ternyata gagal dalam tahap pemulihan perekonomian  domestiknya sejak krisis ekonomi pada tahun 2008. Saat ini, AS mengalami keterpurukan ekonomi yang cukup parah dan berpotensi akan menjadi pemicu krisis ekonomi global. Krisis diawali dengan defisit anggaran pemerintah yang kian mengkhawatirkan akibat hutang pemerintah, masyarakat dan perusahaan swasta yang terus membesar.
Hutang pemerintah AS yang begitu besar membawa negara ‘paman sam’ tersebut  berada pada situasi krisis ekonomi sistemik dan berpotensi kuat akan menjalar hampir ke sebagian besar negara-negara Eropah. Puncaknya, kepercayaan pasar diperkirakan terus semakin melorot sampai ke titik nadir. Besar kemungkinan potensi resiko dari krisis ekonomi AS akan membawa efek  negatif terhadap perekonomian negara-negara mitra dagang AS. Sebab, berdasarkan catatan historisnya krisis ekonomi AS selalu menjadi pemicu tingginya gelombang krisis keuangan global. Agar Indonesia tidak ikut terseret dalam krisis ini, atau paling tidak meminimalisasi dampak yang dirasakan, perlu diciptakan ketahanan ekonomi nasional yang kuat.
Pada dasarnya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang menopang kehidupan masyarakatnya, mulai dari kekayaan bahari hingga kekayaan hutan yang tak terbendung banyaknya. Persoalaan yang muncul hanyalah pada sumber daya pengelolaan kekayaan tersebut hingga menjadi sesuatu yang bermanfaat. Sehingga salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi.
            Tiga komoditi yang saat ini dipercaya mampu mengatasi kedua krisis(pangan dan energy) yang terus menghantui dunia dari waktu ke waktu jagung, singkong dan sagu. Khusus untuk sagu, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk menguasai pasar dunia mengingat Indonesia menguasai 51,3% dari total area hutan sagu di dunia.
Tanaman sagu sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan makanan pokok alternatif bagi masyarakat Indonesia. Sebab, sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per haktare (ha), jauh melebihi beras atau jagung. Di sisi lain peningkatan konsumsi sagu disbanding beras akan membantu menekan impor beras yang hampir setiap tahun dilakukan. Selain di bidang pangan tepung sagu juga bermanfaat dalam industri plastik dan bahan baku pembuatan bioenergi. Sangat tepat kiranya dengan kondisi Indonesia yang selama ini mengalami ketergantungan terhadap minyak bumi.







BAB II
PEMBAHASAN

Krisis ekonomi di Amerika Serikat (AS) telah memberi pukulan langsung kepada petani Indonesia. Harga dua komoditas unggulan, minyak sawit dan karet, menukik tajam. Petani pun telah kehilangan pasar produk pertanian mereka di AS. Sedangkan dampak tidak langsung juga bisa terjadi: petani kita berpotensi kehilangan pasar di negara-negara yang menjadi partner AS, seperti Cina, India, Jepang, dan Eropa.
Tentu saja krisis ekonomi kali ini mau tak mau mengingatkan kita pada situasi 1998. Krisis ekonomi kala itu demikian besar dampak kerusakannya. Itu disebabkan titik episentrum gempa ekonomi terjadi waktu itu ada di dalam negeri kita sendiri dan di saaat daya tahan ekonomi kita tidak kuat. Jadi berbeda sekali dengan krisis kali ini. Sumber kerusakan ada di luar negeri dan Indonesia  sudah punya pengalaman sehingga tahu apa yang harus dilakukan. Meski begitu, negeri kita tidak bisa menahan sama sekali gelombang tsunami akibat gempa ekonomi di AS. Harus kita terima kenyataan bahwa di tahun-tahun ke depan laju pertumbuhan ekonomi kita akan mengalami perlambatan. Kita berharap angkanya tidak sampai negatif.
Dampak krisis ekonomi AS tidak hanya menimpa negara kita saja. Hampir seluruh di dunia terimbas. Tapi, kenyataan ini tidak bisa menjadi apologi pemerintah untuk tidak berpikir kreatif dan bertindak cermat-cepat. Untuk bisa keluar dari krisis, kita sangat bergantung pada efektivitas usaha pemerintah meredam krisis. Pemerintah juga perlu bekerjasama dengan negera-negara lain, secara bilateral maupun multilateral, untuk menyelamatkan ekonomi riil rakyat kita, khususnya petani, bukan hanya menyelamatkan pasar modal, sistem perbankan, dan kondisi keuangan negara saja.
Saat ini telah terjadi penurunan ekspor produk-produk pangan dan pertanian kita ke AS. Kita juga khawatir permintaan pasar pangan Cina dan India seiring menurunnya tingkat ekonomi kedua negara itu akibat ekspor mereka ke AS juga tersendat-sendat.
Hal tersebut akan berakibat buruk kepada para petani kita, khususnya para petani yang mengandalkan pasar ekspor. Maka pemerintah perlu mengantisipasi akibat turunannya, bukan hanya penurunan pertumbuhan sektor pertanian secara makro, tapi juga dampak riil berupa bertambahnya pengangguran dan petani miskin.
Untuk mengatasi krisis terebut, solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mengembangkan diversifikasi, baik bahan pangan maupun bahan energi. Jagung, singkong dan sagu, adalah salah tiga komoditi yang saat ini dipercaya mampu mengatasi kedua krisis yang terus menghantui dunia dari waktu ke waktu.
Khusus sagu, pemerintah menyebutnya sebagai tanaman unggulan dan memiliki potensi sebagai salah satu sumber pangan pokok selain beras, karena kandungan karbohidratnya (kalori) yang memadai dan memiliki kemampuan subsitusi pati sagu dalam industri pangan. Dengan demikian pengelolaan sagu Indonesia memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan dan energi nasional di masa mendatang.
Tanaman Sagu dikenal dengan nama Kirai di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu, rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba di Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru. Tanaman sagu masuk dalam Ordo Spadicflorae, Famili Palmae. Di kawasan Indo Pasifik terdapat 5 marga (genus) Palmae yang zat tepungnya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan acinya cukup tinggi.
            Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi dua, yaitu : yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga atau berbuah sekali (Hapaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena kandungan karbohidratnya lebih banyak. Golongan ini terdiri dari 5 varietas penting yaitu :
  1. Metroxylon sagus,Rottbol atau sagu molat
  2. Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.
  3. Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu ihur
  4. Metroxylon rumphii,Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru
  5. Metroxylon rumphii,Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan
Dari kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting adalah Ihur, Tuni, dan Molat.
Biasanya, sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat lebih dari 70% dan bahan organik 30%. Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning coklat atau hitam dengan kadar bahan organik tinggi.
            Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini, Dari total area hutan sagu di dunia saja, Indonesia memiliki ±1.250.000  juta hektar hutan sagu, atau menguasai 51.3% hutan sagu di dunia. Sebaran lahan pohon sagu terbesar di Indonesia terdapat di beberapa wilayah yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan
Dari luas hutan sagu tersebut, secara matematis sagu ikut menyumbang pemasukan bagi Indonesia dikisaran trilyunan rupiah. Berdasarkan hasil kajian dan pemetaan Forum Kerjasama Agribisnis, jika Indonesia mau membudidayakan sagu dan memanfaatkan pengelolaannya secara maksimal dalam memproduksi tepung sagu, maka dalam jangka waktu sekali panen, industri tepung sagu dengan kisaran harga Rp. 2.400 per kilo gramnya pun sudah mampu menyumbang pendapatan kotor dikisaran 4 trilyun rupiah.
Pemanfaatan sagu:
Dilihat dari segi pangan, tanaman sagu mengandung karbohidrat yang tinggi sehingga dapat dijadikan makanan pokok selain beras, pati sagu dalam batang dapat dikelola menjadi makanan tradisional sagu, tepung sagu, dan aneka makanan seperti mie dan beragam jenis kue. Nilai kalori dan gizi sagupun tidak kalah dengan sumber pangan lainnya seperti beras, jagung, ubi, dan kentang.
Selain sebagai komoditi pangan, menurut pakar Sagu dari Institute Pertanian Bogor (IPB) Bogor, Dr Fredy Rumawas, bahan tepung sagu dapat menghasilkan polimer terbaik guna membuat plastik yang bisa terurai atau plastik yang mudah hancur di alam. Sedangkan di pasaran internasional, tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Jadi, dengan satu juta lahan sagu di Indonesia, sejatinya Indonesia mampu menjelma menjadi makmur.
Kemudian, sagu bisa pula dikembangkan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi, terutama bioetanol, yang sangat potensial. Tidak ada satu sumber bioetanol yang lebih potensial dibandingkan sagu dengan potensi hasil bahan baku mencapai 20-40 ton/ha/tahun. Pemanfaatan pati sagu menjadi etanol merupakan salah satu usaha dalam rangka diversifikasi bahan bakar.. Sangat tepat kiranya dengan kondisi Indonesia yang selama ini mengalami ketergantungan terhadap minyak bumi. Kemudian hal positif lain dari perkebunan sagu adalah sebagai paru-paru yang mampu meminimalisir polusi udara dan efek global warming.
Sehingga, secara umum pembudidayaan dan pemanfaatan sagu memberikan manfaat lebih bagi Indonesia, baik pada taraf penigkatan ekonomi, kesejahteraan sosial, penyediaan komoditi pangan nasional, hingga penyediaan lapangan kerja dan bisnis. Bahkan, sagu secara budaya sudah menjadi bagian intim bangsa ini sebab keberadaan sagu pada awalnya diperkirakan berasal dari Maluku dan Papua.
Meski demikian, angka konsumsi sagu di Indonesia masih rendah. Dari data Kementerian Pertanian 2009, jumlah konsumsi sagu masyarakat hanya sebesar 0,41 kg/kap per tahunnya. Bahkan dibanding terigu yang konsumsinya mencapai 12,88 kg/kapita per tahunnya. Selain itu dari ±1.250.000 ha hutan sagu, yang telah dibudidaya baru mencapai 148.000 ha.
Hal itu dikarenakan politik pangan Indonesia sangat bertumpu pada tanaman padi. Padi atau beras menjadi tolok ukur untuk menentukan tingkat konsumsi karbohidrat. Padahal tidak semua daerah di Indonesia dapat ditanami padi atau penduduknya terbiasa menanam padi atau secara tradisi tidak mengandalkan padi sebagai bahan pangannya. Padahal Indonesia sering kali mengalami masalah yang berulang mengenai produksi pangan terutama beras. Sedangkan,  kebutuhan masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Data statistik menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah beras . Indonesia sendiri merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya mengandalkan produksi dalam negeri . Hal inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimpor beras dari beberapa negara. Padahal jika dikaji ulang kebijakan impor beras hanya akan melemahkan ketahanan pangan nasional Indonesia. padahal berdasarkan kajian Forum Kerjasama Agribisnis, Indonesia memiliki potensi alam bagi pengembangan sagu yang tidak dimiliki oleh benyak negara di dunia. Logika pemanfaatannya, jika pemerintah menginvestasi dana senilai 1,3 trilyun rupiah dengan grace period 12 tahun pada luas lahan 68.180 hektar, dengan pendapatan kotor pada tahun pertama sebesar 4 trilyun rupiah, sebenarnya layak untuk diwujudkan dan sangat menguntungkan. Apabila upaya ini dilakukan, sebenarnya kita dapat sangat berkontribusi bagi pemenuhan pangan dunia. Untuk pangan nasional, tentu pemanfaatan sagu sebagai komoditi pangan berkarbohidrat juga ikut mengurangi ketergantungan masyarakat pada beras yang saat ini diserap hampir 80% oleh masyarakat Indonesia. Namun dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2008 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2009, yang menyatakan bahwa sagu termasuk salah satu komoditi potensial untuk dikembangkan. Dengan demikian sagu memiliki harapan dan peluang untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi pangan nasional. Tinggal bagaimana usaha kita dalam mengelola dan mengembangkan tanaman sagu sehingga mampu menguasai pasar dunia serta menyokong ketahanan pangan dan ekonomi dalam negeri benar-benar terwujud.







BAB III
PENUTUP

Krisis ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat membawa dampak yang besar bagi krisis global, salah satunya adalah Indonesia. Dalam menghadapi krisis ini salah satu langkah yang harus segera diambil adalah menciptakan ketahanan ekonomi nasional yang kuat.
Salah satu sumber daya alam yang dimiliki Indonesia yang berpotensi besar dalam memperkuat ekonomi Indonesia adalah sagu. Dilihat dari areanya, Indonesia memiliki 51,3% dari total area sagu di dunia. Selain itu sagu juga memiliki sumber karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat dijadikan makanan pokok pengganti beras. Jika hal ini benar-benar dilakukan maka ketergantungan Indonesia akan impor beras dapat ditekan. Selain di bidang pangan sagu dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan bioenergi. Hal ini dapat membantu Indonesia yang memiliki ketergantungan dengan bahan bakar energi.
Namun demikian pada kenyataannya konsumsi dan pemanfaatan sagu dalam negeri masih sangat rendah . selain itu dari ±1.250.000 ha hutan sagu, yang telah dibudidaya baru mencapai 148.000 ha.
Oleh karena itu pemerintah semestinya memberikan perhatian yang lebih lagi bagi pengelolaan dan pengembangan sagu di Indonesia mengingat betapa besarnya potensi yang dapat disumbangkan sagu bagi perekonomian Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar