PENDAHULUAN
Impor adalah arus masuk sejumlah
barang dan jasa ke pasar sebuah negara, baik untuk keperluan konsumsi atau
sebagai barang modal maupun untuk bahan baku produksi dalam negeri. Negara importee biasanya melakukan kegiatan impor dengan
tujuan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam negeri, menambah pendapatan negara
karena adanya devisa dari pajak barang impor. Selain itu impor juga dimaksudkan
untuk mendorong berkembangnya kegiatan industry dalam negeri. Kegiata impor
inilah yang nantinya membentuk dasar dari perdagangan internasional bersama
dengan kegiatan ekspor.
Dalam konteks pertanian umum,
Indonesia memang memiliki potensi yang luar biasa. Kelapa sawit, karet, dan
coklat produksi Indonesia mulai bergerak menguasai pasar dunia. Namun, meski
menduduki posisi ketiga sebagai negara penghasil pangan di dunia, hampir setiap
tahun Indonesia selalu menghadapi persoalan berulang dengan produksi pangan
terutama beras. Akibatnya Indonesia masih harus mengimpor beras dari Negara
penghasil pangan lain seperti Thailand.
Namun, kebijakan impor beras di
Indonesia dinilai tidak lazim bagi beberapa kalangan mengingat
perhitungan dari data BPS yang ada, Indonesia hampir selalu surplus dalam
produksi beras. Selain itu kebijakan impor juga merugikan petani dalam negeri
karena selalu kalah bersaing dengan beras impor yang pada umumnya memiliki harga
lebih murah
LANDASAN
TEORI
Impor adalah proses transportasi barang
atau komoditas dari suatu negara
ke negara lain secara legal,
umumnya dalam proses perdagangan.
Proses impor umumnya adalah tindakan memasukan barang atau komoditas dari
negara lain ke dalam negeri. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan
campur tangan dari bea cukai
di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari
perdagangan internasional, lawannya adalah ekspor
Pembeli barang dan jasa ini disebut
sebuah "importir" yang berbasis di negara impor sedangkan penjual
berbasis luar negeri disebut sebagai "eksportir". Dengan demikian,
impor merupakan setiap yang legal (misalnya komoditas ) atau layanan yang
dibawa dari satu negara ke negara lain dengan cara yang sah, biasanya untuk
digunakan dalam perdagangan . Impor yang legal dibawa dari negara lain untuk
dijual. Impor barang atau jasa yang disediakan untuk konsumen dalam negeri oleh
perusahaan asing produsen. Impor di negara penerima adalah ekspor ke negara
pengirim
Berikut ini manfaat dari kegiatan impor
1. Memenuhi
kebutuhan masyarakatdalam negeri.
2. Pendapatan
negara akan bertambah karena adanya devisa.
3. Mendorong
berkembangnya kegiatan industri.
Impor,
bersama dengan ekspor , membentuk dasar dari perdagangan internasional. Impor
barang biasanya membutuhkan keterlibatan pabean berwenang di kedua negara impor
dan negara ekspor dan sering tunduk pada impor kuota, tarif dan perjanjian
perdagangan.
Kegiatan
impor memiliki dampak positif dan negatif terhadap perekonomian suatu negara.
Untuk melindungi produsen dalam negeri, maka negara melakukan pembatasan
terhadap jumlah/ kuota impor.
Dampak positif pembatasan impor:
1. Menumbuhkan rasa cinta produksi
dalam negeri.
2. Mengurangi keluarnya devisa ke luar
negeri.
3. Memperkuat neraca pembayaran.
Dampak
negatif pembatasan impor :
1. Lesunya perdagangan internasional
akibat terjadinya balas membalas kegiatan pembatasan kuota impor.
2. Kurangnya peningkatan mutu produksi
akibat produsen dalam negeri merasa tidak mempunyai pesaing.
Pembahasan
Sampai saat ini
Indonesia masih disebut sebagai negara agraris . Setidaknya, ada dua alasan mengapa
negeri ini masih dianggap sebagai negara agraris. Pertama, sektor pertanian
masih menjadi salah satu leading sector dalam ekonomi Indonesia,
ditunjukkan oleh pangsanya yang masih cukup tinggi terhadap pembentukan produk
domestik bruto (PDB). Pada triwulan II 2011, pangsa sektor pertanian terhadap
PDB sebesar 15,4 persen, nomor dua setelah sektor industri pengolahan yang
mencapai 24,3 persen. Alasan kedua, sebagian besar, yakni sekitar 33 persen
(42,47 juta), penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menggantungkan
hidupnya (bekerja) di sektor pertanian
Indonesia sendiri
memiliki lahan pertanian yang cukup luas yaitu 238,872.24 Ha untuk tahun 2010,
atau meningkat 10% dari tahun sebelumnya (2009). Dengan luas lahan yang begitu besar
lagi subur, tak heran kalau Indonesia menduduki posisi ketiga sebagai negara
penghasil pangan di dunia.
Dalam konteks ini Indonesia memang memiliki potensi yang
besar untuk menguasai pasar pangan dunia, Namun hal yang mengejutkan adalah
bahwa Indonesia sering kali mengalami masalah yang berulang mengenai produksi
pangan terutama beras. Sedangkan,
kebutuhan masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Data statistik
menunjukkan pada kisaran 230-237 juta jiwa, makanan pokok semua penduduk adalah
beras . Indonesia sendiri merupakan pemakan beras terbesar di dunia dengan
konsumsi 154 kg per orang per tahun. Bandingkan dengan rerata konsumsi di China
yang hanya 90 kg, India 74 kg, Thailand 100 kg, dan Philppine 100 kg. Hal ini
mengakibatkan kebutuhan beras Indonesia menjadi tidak terpenuhi jika hanya
mengandalkan produksi dalam negeri .
Hal inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengambil
kebijakan untuk mengimpor beras dari beberapa negara. Selain itu
pemerintah juga membebaskan pajak pertambahan nilai
dan bea masuk atas impor beras guna mempermudah masuknya beras impor ke pasar
nasional.
Bagi Indonesia yang 95
persen penduduknya bergantung pada beras, impor merupakan fenomena biasa,
terutama saat produksi beras domestik tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi.
Masalahnya, data yang menjadi acuan dasar perlu-tidaknya impor beras selalu
mengundang kontroversi. Jantung persoalannya ada keraguan validitas data.
mengundang kontroversi. Jantung persoalannya ada keraguan validitas data.
Misalnya, produksi
beras 2006, menurut Angka Ramalan II (Aram II) BPS, mencapai 54,7 juta ton
gabah kering giling (GKG) atau meningkat 600 ribu ton (1,11 persen)
dibandingkan angka produksi padi 2005. Dengan tingkat produksi sebesar itu,
setelah dikurangi kebutuhan konsumsi, kita surplus 120 ribu ton beras. Bagi
Departemen Pertanian, yang perlu dilakukan adalah menekan harga beras pada
harga wajar. Impor tidak perlu karena bersifat disinsentif kepada petani. Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian,
terdapat tiga provinsi yang mencatat surplus padi, yakni Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Sulawesi Selatan. Surplus yang tejadi pada beberapa daerah ini
tentunya dapat dijadikan cadangan oleh Bulog dan untuk didistribusikan ke
daerah lain yang mengalami defisit
Kemudian berdasarkan data BPS, sejak tahun 2008 produksi beras
nasional selalu surplus. Tetapi sejak tahun 2008 hingga kini, Impor beras terus
dilakukan. Sampai Juli 2011, Pemerintah telah melakukan pengadaan beras melalui
impor sebanyak 1,57 juta ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
beras impor tersebut paling banyak berasal dari Vietnam yaitu 892,9 ribu ton
dengan nilai US$ 452,2 juta. Sementara beras impor Thailand, telah masuk sebanyak
665,8 ribu ton dengan nilai US$ 364,1 juta hingga Juli. Selain dari Vietnam dan
Thailand, pemerintah juga mengimpor beras dari Cina, India, Pakistan, dan
beberapa negara lainnya.
Jika diurai, biang dari persoalan ini sebenarnya bukan hanya
karena suplai atau produksi dalam negeri yang kurang, tetapi lebih dari itu.
Masalah impor pangan sudah tersandera banyak kepentingan mulai dari partai
politik, pengusaha dan kepentingan individu, sebagaimana yang diungkapkan oleh
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perdagangan, Distribusi dan Logistik Natsir
Mansyur kepada media.
Banyak pihak yang menikmati kondisi ini. Bagi mereka, impor
pangan merupakan lahan basah untuk merauk banyak keuntungan. Karena itu, mereka
sangat berkepentingan agar impor pangan terus berlangsung. Dan sepertinya,
pemerintah tersandera oleh kepentingan mereka, para mafia impor itu. Sikap
Menteri Perdangan Mari Elka Pangestu yang cenderung melonggarkan dilakukannya
impor komoditi pangan merupakan indikasi kuat akan hal itu.
Hal
ini tentu saja menimbulkan sebuah pertanyaan besar apakah kebijakan pemerintah
untuk mengimpor beras sudah tepat atau tidak. Dilihat dari sisi kebutuhan dalam
negeri, sesungguhnya Indonesia tidak mengalami kekurangan beras, dalam artian
jika distribusi berjalan lancar dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan
pihak tertentu. Kemudian dari sisi perekonomian domestik, impor beras hanya
akan merugikan para petani lokal mengingat harga beras impor pada umumnya lebih
murah dari beras lokal. Padahal pemerintah seharusnya lebih memperhatikan
kesejahteraan petani sebagai pengelola sektor pertanian dalam negeri yang memiliki kontribusi yang cukup
tinggi terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) yaitu sebesar 15,4
persen pada triwulan II tahun 2011, yakni nomor dua setelah sektor industri
pengolahan yang mencapai 24,3 persen. Selain itu sekitar 33 persen (42,47
juta) penduduk Indonesia usia 15 tahun
ke atas menggantungkan hidupnya (bekerja) di sektor pertanian.
Jika beras impor begitu mudah masuk ke pasar nasional dan
akhirnya menguasai pasar beras nasional, bias dipastikan petani local akan
kehilangan mata pencaharian mereka. Sehingga kebutuhan akan beras impor akan
naik, dan pada akhirnya Indonesia akan bergantung sepenuhnya pada beras impor.
Hal ini tentunya akan melemahkan ketahanan pangan nasional.
Ketergantungan impor bahan baku pangan ini juga disebabkan
mahalnya biaya transportasi di Indonesia yang mencapai 34 sen dolar AS per
kilometer. Bandingkan dengan negara lain seperti Thailand, China, dan Vietnam
yang rata-rata sebesar 22 sen dolar AS per kilometer. Sepanjang kepastian
pasokan tidak kontinyu dan biaya transportasi tetap tinggi, maka industri
produk pangan akan selalu memiliki ketergantungan impor bahan baku.
Rata-rata per tahun
Indonesia mengeluarkan Rp 110 trilyun untuk impor pangan, sementara nilai
pembiayaan pertanian dalam APBN hanya Rp 38,2 trilyun. Jika biaya yang
dikeluarkan untuk impor bisa dialihkan untuk membangun pertanian dalam negeri,
perbaikan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya, menjaga stabilitas harga
baik di tingkat produsen maupun konsumen tentu pertanian dalam negeri akan
lebih berkembang.
Pada akhirnya, tugas
bagi pemerintah dan pihak yang terkait
adalah memperbaiki kinerja masing-masing. Baik dalam pengadaan maupun
distribusi. Diperlukan juga kebijaksanaan oleh Bulog agar setiap kebijakan yang
diambil tidak merugikan petani lokal yang kesejahteraannya masih rendah tanpa
mengorbankan ketahanan pangan Indonesia.
Penutup
Indonesia adalah negara agraris yang sebagi. Selain itu
Indonesia Indonesia menempati urutan nomor tiga di dunia sebagai produsen besar
strukn pangan. Namun hal yang mengejutkan adalah bahwa Indonesia sering kali
mengalami masalah yang berulang mengenai produksi pangan terutama beras. Sedangkan,
kebutuhan masyarakat Indonesia sangatlah tinggi. Untuk itu pemerintah mengambil
kebijakan impor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tetapi .
Masalahnya, data yang menjadi acuan dasar perlu-tidaknya impor beras selalu mengundang
kontroversi. Jantung persoalannya ada keraguan validitas data. Pasalnya menurut
data BPS produksi beras dari tahun ke tahun selalu surplus, sehingga timbul
dugaan adanya penyalahgunaan hasil produksi kalangan tertentu dengan tujuan
mencari keuntungan.
Hal ini menyebabkan
Indonesia mau tak mau harus tetap mengimpor beras. Padahal kebijakan ini akan
berpengaruh terhadap perekonomian domestic. Selain melemahkan ketahanan pangan
nasional, kebijakan impor dianggap merugikan petani local karena harga beras
impor umumnya lebih murah dari beras lokal. Untuk itu peran pemerintah sangat
dibutuhkan guna mengawasi pengadaan, distribusi maupun menjaga kestabilan harga
beras lokal sehingga kesejahteraan petani lokal tetap terjamin.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/business-management/international-business/2213899-pengertian-impor/
disusun oleh: Amelia Putri Kartikasari/Ilmu Administrasi Negara/UNY-2011
disusun oleh: Amelia Putri Kartikasari/Ilmu Administrasi Negara/UNY-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar